Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza)
adalah tumbuhan obat yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae)[1]. Ia berasal dari Indonesia, khususnya Pulau Jawa,
kemudian menyebar ke beberapa tempat di kawasan wilayah biogeografi Malesia. Saat ini, sebagian besar budidaya temu
lawak berada di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina[2] tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di China,
Indochina, Barbados, India,
Jepang, Korea,
Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Nama daerah
di Jawa yaitu temulawak, di Sunda disebut koneng gede, sedangkan
di Madura disebut temu labak[1]. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik
pada dataran rendah sampai ketinggian 1500 meter
di atas permukaan laut dan berhabitat di hutan tropis[2]. Rimpang temu lawak dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik pada tanah yang gembur[3].
Ciri Morfologi
Terna
berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m.
Batang semu merupakan bagian dari pelepah
daun yang tegak dan saling bertumpang tindih[4], warnanya hijau atau coklat gelap. Rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang
kuat, berukuran besar, bercabang-cabang, dan berwarna cokelat kemerahan, kuning
tua atau berwarna hijau gelap. Tiap tunas dari rimpang membentuk daun 2 – 9
helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau
atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31 cm – 84 cm dan lebar
10 cm – 18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43 cm – 80 cm, pada setiap
helaian dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun agak panjang. Bunganya
berwarna kuning tua, berbentuk unik dan bergerombol yakni perbungaan lateral,[1]. tangkai ramping dan sisik berbentuk
garis, panjang tangkai 9cm – 23cm dan lebar 4cm – 6cm, berdaun pelindung banyak
yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga
berwarna putih berbulu, panjang 8mm – 13mm, mahkota bunga berbentuk tabung
dengan panjang keseluruhan 4.5cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang
berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1.25cm
– 2cm dan lebar 1cm, sedangkan daging rimpangnya berwarna jingga tua atau
kecokelatan, beraroma tajam yang menyengat dan rasanya pahit[4].
Pemanfaatan.
Di Indonesia
satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang temu lawak untuk dibuat
jamu godog. Rimpang ini mengandung 48-59,64 % zat tepung, 1,6-2,2 %
kurkumin dan 1,48-1,63 % minyak asiri dan dipercaya dapat meningkatkan
kerja ginjal serta anti inflamasi. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah
sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, antiinflamasi,
anemia, antioksidan, pencegah kanker, dan antimikroba.
Sentra penanaman
Tanaman ini
ditanam secara konvensional dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi
budidaya yang sederhana, karena itu sulit menentukan letak sentra penanaman
temulawak di Indonesia. Hampir di setiap daerah pedesaan, terutama di dataran
sedang dan tinggi, dapat ditemukan temulawak terutama di lahan yang teduh.
Aspek Budidaya
Bibit
diperoleh dari perbanyakan secara vegetatif yaitu anakan yang tumbuh dari
rimpang tua yang berumur 9 bulan atau lebih, kemudian bibit tersebut ditunaskan
terlebih dahulu di tempat yang lembap dan gelap selama 2-3 minggu sebelum
ditanam[1]. Cara lain untuk mendapatkan bibit
adalah dengan memotong rimpang tua yang baru dipanen dan sudah memiliki tunas
(setiap potongan terdiri dari 2-3 mata tunas), kemudian dikeringkan dengan cara
dijemur selama 4-6 hari[2]. Temulawak sebaiknya ditanam pada awal
musim hujan agar rimpang yang dihasilkan besar, sebaiknya tanaman juga diberi
naungan[1].
Lahan
penanaman diolah dengan cangkul sedalam 25-30 sentimeter, kemudian dibuat bedengan berukuran
3-4 meter dengan panjang sesuai dengan ukuran lahan,
untuk mempermudah drainase agar rimpang tidak tergenang dan membusuk[5]. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 20 sentimeter x 20 sentimeter x 20 sentimeter dengan jarak tanam 100 sentimeter x 75 sentimeter, pada setiap lubang tanam dimasukkan
2-3 kilogram pupuk kandang[1]. Penanaman bibit dapat pula dilakukan
pada alur tanam/ rorak sepanjang bedengan, kemudian pupuk kandang ditaburkan di
sepanjang alur tanam, kemudian masukkan rimpang bibit sedalam 7.5-10 sentimeter dengan mata tunas menghadap ke atas[5].
Pemeliharaan
tanaman dilakukan dengan penyiangan gulma sebanyak 2-5 kali,
tergantung dari pertumbuhan gulma, sedangkan pembumbunan
tanah dilakukan bila terdapat banyak rimpang yang tumbuh menyembul dari tanah[1]. Waktu panen yang paling baik untuk
temu lawak yaitu pada umur 11-12 bulan karena hasilnya lebih banyak dan
kualitas lebih baik daripada temu lawak yang dipanen pada umur 7-8 bulan[5]. Pemanenan dilakukan dengan cara
menggali atau membongkar tanah disekitar rimpang dengan menggunakan garpu atau cangkul[1].
Pertumbuhan
Iklim
- Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari teriknya sinar matahari. Di habitat alami rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu atau jati. Namun demikian temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat yang terik seperti tanah tegalan. Secara umum tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis.
- Suhu udara yang baik untuk budidaya tanaman ini antara 19-30 oC
- Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun.
Media tanam
Perakaran
temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah
berkapur, berpasir, agak berpasir maupun tanah-tanah berat yang berliat. Namun
demikian untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur,
gembur dan berdrainase baik. Dengan demikian pemupukan anorganik dan organik
diperlukan untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar
tetap gembur. Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar
tanah tidak mudah tergenang air.
Ketinggian
Temulawak
dapat tumbuh pada ketinggian tempat 5-1.000 m/dpl dengan ketinggian tempat
optimum adalah 750 m/dpl. Kandungan pati tertinggi di dalam rimpang diperoleh
pada tanaman yang ditanam pada ketinggian 240 m/dpl. Temulawak yang ditanam di
dataran tinggi menghasilkan rimpang yang hanya mengandung sedikit minyak
atsiri. Tanaman ini lebih cocok dikembangkan di dataran sedang.
Hama dan penyakit
Hama
Hama
temulawak adalah:
- Ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites Esp),
- Ulat tanah (Agrotis ypsilon Hufn) dan
- Lalat rimpang (Mimegrala coerulenfrons Macquart)
Cara
pengendaliannya dengan penyemprotan insektisida Kiltop 500 EC atau Dimilin 25
WP dengan konsentrasi 0.1-0.2 %.
Penyakit
- Jamur Fusarium disebabkan oleh fungus oxysporum Schlecht dan Phytium sp serta bakteri Pseudomonas sp yang berpotensi untuk menyerang perakaran dan rimpang temulawak baik di kebun atau setelah panen. Gejala Fusarium dapat menyebabkan busuk akar rimpang dengan gejala daum menguning, layu, pucuk mengering dan tanaman mati. Akar rimpang menjadi keriput dan berwarna kehitam-hitaman dan bagian tengahnya membusuk. Jamur Phytium menyebabkan daun menguning, pangkal batang dan rimpang busuk, berubah warna menjadi coklat dan akhirnya keseluruhan tanaman menjadi busuk. Cara pengendalian dengan melakukan pergiliran tanaman yaitu setelah panen tidak menanam tanaman yang berasal dari keluarga Zingiberaceae. Fungisida yang dapat dipakaikan adalah Dimazeb 80 WP atau Dithane M-45 80 WP dengan konsentrasi 0.1 - 0.2 %.
- Penyakit layu disebabkan oleh Pseudomonas sp, gejala berupa kelayuan daun bagian bawah yang diawali menguningnya daun, pangkal batang basah dan rimpang yang dipotong mengeluarkan lendir seperti getah. Cara pengendaliannya dengan pergiliran tanaman dan penyemprotan Agrimycin 15/1.5 WP atau grept 20 WP dengan konsentrasi 0.1 -0.2%.
Gulma
Gulma potensial
pada pertanaman temu lawak adalah gulma kebun antara lain adalah rumput teki,
alang-alang, ageratum, dan gulma berdaun lebar lainnya.
Pengendalian hama/penyakit secara organik
Dalam
pertanian organik yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya melainkan
dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan biasanya dilakukan secara terpadu
sejak awal pertanaman untuk menghindari serangan hama dan penyakit tersebut
yang dikenal dengan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang komponennya adalah
sbb:
- Mengusahakan pertumbuhan tanaman yang sehat yaitu memilih bibit unggul yang sehat bebas dari hama dan penyakit serta tahan terhadap serangan hama dari sejak awal pertanaman
- Memanfaatkan semaksimal mungkin musuh-musuh alami
Kandungan dan Manfaat
Kandungan
utama rimpang temulawak adalah protein, karbohidrat, dan minyak atsiri yang terdiri atas kamfer,
glukosida,
turmerol,
dan kurkumin[2]. Kurkumin bermanfaat sebagai anti inflamasi (anti
radang) dan anti hepototoksik (anti keracunan empedu).
Temu lawak
memiliki efek farmakologi yaitu, hepatoprotektor (mencegah penyakit hati),
menurunkan kadar kolesterol, anti inflamasi (anti radang), laxative
(pencahar), diuretik (peluruh kencing), dan menghilangkan nyeri sendi[1]. Manfaat lainnya yaitu, meningkatkan
nafsu makan, melancarkan ASI, dan membersihkan darah[2].
Selain dimanfaatkan
sebagai jamu dan obat, temu lawak juga dimanfaatkan
sebagai sumber karbohidrat dengan mengambil patinya, kemudian diolah menjadi
bubur makanan untuk bayi dan orang-orang yang mengalami gangguan pencernaan[6]. Di sisi lain, temu lawak juga
mengandung senyawa beracun yang dapat mengusir nyamuk, karena tumbuhan tersebut menghasilkan minyak atsiri yang mengandung linelool,
geraniol
yaitu golongan fenol yang mempunyai daya repellan nyamuk Aedes
aegypti[7].
Post a Comment